Hasil Copas dari Blognya Joko Anwar (http://blog.jokoanwar.com/)
“Udah liat foto Miyabi pakai batik?” tanya teman saya Robbie sambil
mengubek-ubek jejeran DVD bajakan di Kemang di rak yang diberi label
lucu ‘new realise’.
“Belum. Kenapa?” tanya saya. Tadinya saya pikir dia akan protes
karena menganggap Miyabi tidak layak memakai pakaian kebanggaan
Indonesia, sebagaimana bintang film porno itu tidak layak main di film
Indonesia yang dikenal sangat bermutu, membanggakan, dan diproyeksikan
akan jadi ‘tuan rumah di negeri sendiri’ di tahun… mmm… 2030. Tapi
kemudian saya teringat rak DVD film-film favorit Robbie di mana beberapa
film Miyabi (salah satunya berjudul Female Ninja Rape Ninjutsu Notebook
dan Immoral Teacher 2) berjejer dengan sombong bersama film-film
Stanley Kubrick. (Stanley Kubrick beneran bukan Stanley Pubic)
“Ya bangga lah, dodol,” kata Robbie.
Besoknya ketika saya sedang tunggang langgang mempersiapkan sebuah
syuting, Robbie mengirimkan foto lewat Blackberry Messenger.
miyabipakaibatiq.jpg. Karena sedang sibuk, saya tidak membukanya. Tak
lama dia mengirim pesan lewat Blackberry Messenger. “Kok nggak diterima
fotonya?” tanya Robbie. Saya pun mematikan Blackberry dan menghapus
Robbie dari contact list.
Tak lama kemudian, Robbie menelpon dan marah. Bukan karena saya
menghapus namanya dari contact list, tapi karena saya terlihat tidak
tertarik dengan kenyataan bahwa Miyabi pun memakai batik.
“Show some nationalism spirit, dong!” katanya.
Bagi sebagian orang Indonesia, rasa bangga akan kebangsaan memang bercampur dengan rasa rendah diri.
Tahun lalu pada tanggal 17 Agustus, saya diundang oleh sebuah stasiun
TV swasta sebagai pembicara di acara yang berjudul “Film dan
Nasionalisme.” Di acara itu diputar sebuah klip yang menampilkan seorang
laki-laki bule menjadi dalang dan seorang perempuan Jepang menari Jawa.
“Wah, bangga ya orang luar tertarik dengan kesenian kita,” kata pembawa acaranya. “Bagaimana, Mas Joko? Bangga dong, ya?”
“Nggak,” jawab saya. Dari mulai awal acara saya memang sudah merasa
tidak nyaman berada di acara di mana para pembicaranya sibuk menunjukkan
rasa ‘nasionalisme’ mereka. “Kenapa kita harus merasa bangga? Apa
karena kita menganggap bangsa lain lebih tinggi dari kita sehingga kalau
mereka mau memainkan kesenian Indonesia kita mesti bersyukur?”
Saya bersyukur karena itu adalah siaran langsung sehingga komentar
saya tidak akan diedit. “Kalau itu kasusnya, berarti kita semua
menderita inferiority complex,” tambah saya.
Bulan Desember lalu, twitter ramai dengan komentar orang-orang
tentang Bono dari U2 yang konser dengan memakai batik. Yeah, dan
orang-orang Amerika menggelinjang setiap detik mereka melihat orang
Indonesia memakai celana jins.
Bulan lalu, sebuah stasiun radio membahas film-film luar yang
menyebut salah satu tempat di Indonesia di dialognya. Memang kalau
nonton di bioskop, setiap kali nama Indonesia atau nama-nama kota di
Indonesia disebut di sebuah film, saya bisa mendengar orang bergumam
kagum.
Saat band Temper Trap lagunya yang berjudul Sweet Disposition dipakai
untuk film 500 Days of Summer, orang-orang juga memuji vokalisnya yang
katanya orang Indonesia. “Waaah… hebat ya orang Indonesia bisa gitu…”
Mungkin karena gampangnya sebagian orang Indonesia dibuat senang
dengan hal-hal yang berbau ‘nasionalisme’, banyak orang yang membuatnya
sebagai strategi dagang. ‘Film Indonesia pertama yang bla… bla… bla…’,
‘Karya asli anak bangsa’ (bapak ibunya nggak pernah disebut). Soal
karyanya ternyata crappy, itu masalah lain.
Beberapa waktu lalu, saya pulang kampung dan bertemu dengan paman
saya yang kebetulan menonton saya di TV tanggal 17 Agustus tahun lalu.
Dia bertanya kenapa saya sampai berbicara seperti itu.
“Bagi saya, nasionalisme sekarang bukan sekedar marah kalau ikon
budaya kita yang diberikan oleh nenek moyang jaman dahulu kala
diaku-akuin oleh orang luar, dan bangga kalau orang luar tertarik sama
kesenian kita. Nasionalisme seharusnya rasa percaya diri bahwa kita
memiliki kemampuan yang sama dengan orang manapun di dunia,” jawab saya.
“Orang Indonesia masih butuh pengakuan, “ kata paman saya. “Negeri
besar penduduk banyak tapi belum banyak prestasinya. Daftar buruknya
banyak. Biarin aja lah dulu, dimulai dengan hal-hal yang kamu benci tadi
itu. Jangan dikecilkan hati mereka. Kasian.”
Tak lama kemudian, saya menelpon teman saya Robbie dan memintanya untuk mengirim foto Miyabi pakai batik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar