Selasa, 16 Juli 2013

Ada Apa Dengan Film Indonesia (Provoke-Online.com)

Bukan tulisan Saya, ini  diambil dari website sebuah majalah kenamaan dikalangan pelajar dan muda-mudi Jakarta&sekitarnya. Artikel tentang yaa.. yang akrab dengan kita. Monggo dibaca..
 
Bikin film itu susah. No shit. Tapi yang mungkin lo semua gak tau adalah bahwa bikin film di Indonesia jauh lebih susah dari yang lo bayangkan. Indonesia bukan Hollywood yang punya banyak duit. Temen gue pernah bilang ke gue bahwa Indonesia gak bakalan bisa bikin film kayakTransformers. Gue bilang sama dia, apa aja bisa kalo lo punya 3 triliun.
 
Film kita gak ada yang bujetnya sampe 3 triliun. Paling banter kalo dikurs-in ke dollar cuman 4 jutaan dollar. Makanya, bikin film local semuanya harus dilakukan dengan penuh cinta. Berlebihan? Dengerin gue dulu baru lo bakalan ngerti kenapa faktor “cinta” itu penting dalam pembuatan film di sini.
 
Stage 1
 
Syuting film disini gak ada glamor-glamornya. Jangan bayangin kayak film Hollywood. Lo bisa tidur 8 jam sehari selama produksi aja kayaknya udah harus sujud syukur. Jangan harapkan ada AC. Para pemain mungkin bisa kena AC, tapi orang-orang kayak asisten kamera, asisten sutradara bahkan line producer (komandan perang selama produksi) terpaksa harus berpanas-panasan selama… yah, selama produksi berjalan.
 
Di Hollywood mereka punya standar jam kerja. Kayak orang ngantor. Mereka kerja selama kira-kira 8-10 jam sehari. Lebih dari itu diitung lembur. Jadi kalo lo liat production days film kayak Pirates of Caribbean bisa sampe 200 hari itu karena jam kerja mereka emang terbatas. Di sini kita gak punya kemewahan itu. Jadi, kapankah syuting berakhir? Well, kadang kala syuting bisa berjalan sampai dengan 24 jam sehari. Dan ketika lo udah happy syuting mau kelar, lo harus inget bahwa dalam beberapa jam lagi lo harus udah bangun dan syuting lagi. Makanya faktor “cinta” penting banget disini. Kalo lo gak secinta itu bikin film Indonesia, mending jadi dokter gigi aja. Gak bakalan semrawut itu idup lo.
 
 
Stage 2
 
Setelah masa produksi berakhir barulah kita masuk ke post-production. Ini adalah masa dimana film diutak-atik jadi bagus. Di Hollywood mereka punya satu tempat, Indonesia nggak. Kalo lo mau film lo jadinya bagus (dan lo punya kelebihan uang), lo harus ke Thailand untuk mixing sound. Atau ke Australia untuk grading warna. Semua ini membutuhkan uang yang gak dikit.
Mereka ngutak ngatik filmnya sampe yang bikin puas (dan ehm, kadang tergantung faktor duitnya masih ada apa nggak juga sih). Sampe akhirnya produser dan sutradara bilang bahwa filmnya siap edar. Berjalanlah mereka ke sebuah tempat bernama Lembaga Sensor Film (LSF) dan berharap bahwa film mereka gak diperkosa sama LSF. 
 
Mini Boss 
 
Indonesia gak kayak Amerika yang punya Motion Pictures Association of America (MPAA) yang tugasnya adalah mengklasifikasi jenis film. Merekalah yang menentukan apakah Monster University cocok untuk ditonton anak-anak atau khusus dewasa. Sistem ini menjamin film lo gak bakal disunat, tapi bakalan disesuain jenis penontonnya sesuai materi film.
 
Disini, sebagai produser film, lo harus banyak berdoa. Kadang, para penyensor film tidak memiliki cara kerja otak yang logis sama kayak kita. Kadang, mereka bisa terganggu oleh hal-hal yang sebenernya gak ada jorok-joroknya sama sekali. Dan ketika lo mau protes, mereka akan ngasih alasan-alasan kocak kayak “film lo kurang mencerminkan budaya Indonesia” atau semacamnya. Dan karena emang hanya mereka yang menentukan ini semua, lo gak ada pilihan lain kecuali nurut. Atau mungkin ngambek dan pindah ke negara.
 
Final Boss
 
Abis lo dapet keterangan lulus sensor, yang bikin film masih belum bisa nafas lega dulu. Mereka harus menunggu waktu lagi agar filmnya tayang di bioskop. Indonesia gak punya sistem distributor yang ngatur jalannya traffic film di bioskop. Disini lo cuman tinggal ke bioskopnya (dalam kasus ini adalah Cineplex 21 dan Blitzmegaplex) dan minta jadwal tayang. 
Beberapa produser yang handal, bisa dengan mudah minta jadwal tayang yang menguntungkan di minggu-minggu liburan misalnya. Produser yang kurang handal (atau baru), terpaksa harus gigit jari dengan pemilihan jadwal tayang mereka kurang begitu menguntungkan. Kadang mereka terpaksa harus nangis di pojokan begitu tau bahwa film mereka dapat jatah tayang 6-7 bulan kemudian dan harus banget barengan sama film James Bond yang baru. 
 
Kemudian setelah jadwal tayang sudah fix, barulah mereka mulai berdoa tiap hari agar film mereka bisa laku. Jeleknya bioskop di Indonesia (atau minusnya sistem distribusi disini) adalah kenyataan bahwa semua kerja keras lo selama berbulan-bulan bikin film, akan dinilai dalam 3 hari pertama penayangan. Dalam 3 hari itu Cineplex 21 itu akan menilai film lo, apakah film lo cukup layak diperpanjang atau nggak. Kalo ya, lo harus berdoa lagi supaya film lo masih cukup kinclong untuk menarik perhatian penonton. Kalo nggak, ya lo harus tabah bahwa semua perjuangan lo cuman kelar sampe situ aja. Itulah kenapa lo sering berada dalam posisi ngomongin film Indonesia yang baru dan temen lo nyeletuk, “Hah? Yang mana ya? Kok gue gak tau?” atau “Gak pernah liat gue di bioskop”. Itu karena emang sistem pemutaran film di negara kita sangatlah kejam.
 
Ending
 
Setelah tau ini semua, lo bisa nanya, “Kenapa sih, Can, lo semangat banget nyeritain ini semua?” Simple aja: Gue pengen lo tau kerja keras para pembuat film di Indonesia. Karena bikin film Indonesia itu gak gampang dan kurang dihargai. Dan dengan tulisan ini gue berharap agar lo selalu nonton film Indonesia di bioskop karena cuman lo-lah satu-satunya harapan kita di akhir hari. Dan supaya tiap kali ada temen lo yang mau download film Indonesia (atau nonton di youtube, worse) lo bisa tabok mereka sampe berdarah.

JogloSepur

JogloSepur kami menyebutnya. Bukan sebuah organisasi politik, bukan pula sebuah geng motor, bahkan bukan sebuah agen traveling. Camkan itu hahaha. Hanya sebuah komunitas kecil atau lebih tepatnya sebuah forum silaturahmi. Tempat ajang kumpul-kumpul, ketawa, bertualang, dan kegiatan yang seru.

Berasal dari sekolah yang rasa kebersamaannya sangat tinggi dan perantau di tanah Jawa membuat kami merasa senasib sepenanggungan. Jogjakarta, Solo, Semarang dan Purwokerto jadilah nama JogloSepur. Awal terbentuknya agak kurang paham juga sebenernya, kalau boleh saya tebak kayaknya cuma ngga sengaja aja. Tapi yang pasti, karena sama-sama di perantauan, jauh dari ibukota yang sumpek dan menjemukan, ajang kumpul-kumpul kayak gini seru pastinya.


Cave Tubing di Goa Pindul, Wonosari, Jogjakarta.




Pantai Indrayanti & Pantai Siung, Wonosari, Jogjakarta

Minggu, 14 Juli 2013

Our National Pride… Or Something Like It (By Joko Anwar)


Hasil Copas dari Blognya Joko Anwar (http://blog.jokoanwar.com/)

“Udah liat foto Miyabi pakai batik?” tanya teman saya Robbie sambil mengubek-ubek jejeran DVD bajakan di Kemang di rak yang diberi label lucu ‘new realise’.
“Belum. Kenapa?” tanya saya. Tadinya saya pikir dia akan protes karena menganggap Miyabi tidak layak memakai pakaian kebanggaan Indonesia, sebagaimana bintang film porno itu tidak layak main di film Indonesia yang dikenal sangat bermutu, membanggakan, dan diproyeksikan akan jadi ‘tuan rumah di negeri sendiri’ di tahun… mmm… 2030. Tapi kemudian saya teringat rak DVD film-film favorit Robbie di mana beberapa film Miyabi (salah satunya berjudul Female Ninja Rape Ninjutsu Notebook dan Immoral Teacher 2) berjejer dengan sombong bersama film-film Stanley Kubrick. (Stanley Kubrick beneran bukan Stanley Pubic)
“Ya bangga lah, dodol,” kata Robbie.
Besoknya ketika saya sedang tunggang langgang mempersiapkan sebuah syuting, Robbie mengirimkan foto lewat Blackberry Messenger. miyabipakaibatiq.jpg. Karena sedang sibuk, saya tidak membukanya. Tak lama dia mengirim pesan lewat Blackberry Messenger. “Kok nggak diterima fotonya?” tanya Robbie. Saya pun mematikan Blackberry dan menghapus Robbie dari contact list.
Tak lama kemudian, Robbie menelpon dan marah. Bukan karena saya menghapus namanya dari contact list, tapi karena saya terlihat tidak tertarik dengan kenyataan bahwa Miyabi pun memakai batik.
Show some nationalism spirit, dong!” katanya.
Bagi sebagian orang Indonesia, rasa bangga akan kebangsaan memang bercampur dengan rasa rendah diri.
Tahun lalu pada tanggal 17 Agustus, saya diundang oleh sebuah stasiun TV swasta sebagai pembicara di acara yang berjudul “Film dan Nasionalisme.” Di acara itu diputar sebuah klip yang menampilkan seorang laki-laki bule menjadi dalang dan seorang perempuan Jepang menari Jawa.
“Wah, bangga ya orang luar tertarik dengan kesenian kita,” kata pembawa acaranya. “Bagaimana, Mas Joko? Bangga dong, ya?”
“Nggak,” jawab saya. Dari mulai awal acara saya memang sudah merasa tidak nyaman berada di acara di mana para pembicaranya sibuk menunjukkan rasa ‘nasionalisme’ mereka. “Kenapa kita harus merasa bangga? Apa karena kita menganggap bangsa lain lebih tinggi dari kita sehingga kalau mereka mau memainkan kesenian Indonesia kita mesti bersyukur?”
Saya bersyukur karena itu adalah siaran langsung sehingga komentar saya tidak akan diedit. “Kalau itu kasusnya, berarti kita semua menderita inferiority complex,” tambah saya.
Bulan Desember lalu, twitter ramai dengan komentar orang-orang tentang Bono dari U2 yang konser dengan memakai batik. Yeah, dan orang-orang Amerika menggelinjang setiap detik mereka melihat orang Indonesia memakai celana jins.
Bulan lalu, sebuah stasiun radio membahas film-film luar yang menyebut salah satu tempat di Indonesia di dialognya. Memang kalau nonton di bioskop, setiap kali nama Indonesia atau nama-nama kota di Indonesia disebut di sebuah film, saya bisa mendengar orang bergumam kagum.
Saat band Temper Trap lagunya yang berjudul Sweet Disposition dipakai untuk film 500 Days of Summer, orang-orang juga memuji vokalisnya yang katanya orang Indonesia. “Waaah… hebat ya orang Indonesia bisa gitu…”
Mungkin karena gampangnya sebagian orang Indonesia dibuat senang dengan hal-hal yang berbau ‘nasionalisme’, banyak orang yang membuatnya sebagai strategi dagang. ‘Film Indonesia pertama yang bla… bla… bla…’, ‘Karya asli anak bangsa’ (bapak ibunya nggak pernah disebut). Soal karyanya ternyata crappy, itu masalah lain.
Beberapa waktu lalu, saya pulang kampung dan bertemu dengan paman saya yang kebetulan menonton saya di TV tanggal 17 Agustus tahun lalu. Dia bertanya kenapa saya sampai berbicara seperti itu.
“Bagi saya, nasionalisme sekarang bukan sekedar marah kalau ikon budaya kita yang diberikan oleh nenek moyang jaman dahulu kala diaku-akuin oleh orang luar, dan bangga kalau orang luar tertarik sama kesenian kita. Nasionalisme seharusnya rasa percaya diri bahwa kita memiliki kemampuan yang sama dengan orang manapun di dunia,” jawab saya.
“Orang Indonesia masih butuh pengakuan, “ kata paman saya. “Negeri besar penduduk banyak tapi belum banyak prestasinya. Daftar buruknya banyak. Biarin aja lah dulu, dimulai dengan hal-hal yang kamu benci tadi itu. Jangan dikecilkan hati mereka. Kasian.”
Tak lama kemudian, saya menelpon teman saya Robbie dan memintanya untuk mengirim foto Miyabi pakai batik lagi.

Jumat, 01 Februari 2013

Cilung!

Semua orang pasti punya masa kecil, entah itu sedih atau sangat menyenangkan. Entah itu bahagia atau galau (emang anak kecil udah bisa galau?) Eits jangan salah, era globamatika seperti ini anak kecil tiga tahun juga bisa galau. Keponakan saya aja galau kalo tiba-tiba sinetron Coboy Junior ngga tayang -_-

Tapi bukan itu yang mau saya omongin. Bicara masalah masa kecil pasti erat tali persaudaraan dengan namanya kenangan, dan ngga terkecuali soal jajanan! Nah, kebayang kan jajanan jaman SD gitu ? Yang bentuknya ucul-ucul ngegemesin pengen dikunyah, yang warnanya mentereng kayak dandanan mbak-mbak. Yang abang-abangnya setia nongkrong depan sekolah, bahkan lebih setia dari... *some text missing* nah pokoknya itu deh.

Enggak tau saya yang norak atau kurang gaul pas jaman SD dulu tapi ada jajanan yang super unik. Boleh saya bilang belom pernah nemu ini sebelumnya. Kita lebih dulu kenal namanya dengan cireng atau aci digoreng, cimol atau aci dicemol, cilok atau aci dicolok dan yang paling terakhir saya kenal dari The Ci-Brothers ini adalah cilung alias aci digulung. Ironisnya ini saya temui pas udah kuliah, bukan ketika masih sd dulu.

Aci digulung atau cilung ini emang ngga beda sama The Chi-Brothers lainnya tadi. Terbuat (tentunya) dari aci atau sagu, sagu kemudian dilarutkan air jadi adonan cair. Selanjutnya ? adonan tadi digoreng kayak kalo lagi goreng sisaan tepung kalo goreng tempe. Goreng jembreng gitu aja, lebar, luar seluas permukaan penggorengannya. Trus sebelum kering, digulung pake tusukan dari bambu. Digulung-gulung seperti sate lilit. Lucuk pokoknya. Sebagai pelengkap, dicelupin ke saos khas abang-abang jajanan SD. Jadilah ciluuuung~

Abang-abang yang biasa saya satronin itu biasa mangkal depan SD Negeri 1 Blater, sebelah utara kampus saya. Jadi kalo ngampus sekitar jam 9, dengan lincahnya saya bakal nyamperin si abang-abang 'Bang, yang kering ya. Dua rebu!' tapi mesti sabar karna saingan sama anak-anak SD -.- dan tentunya buru-buru takut kelas udah masuk. Rasanya? kenyel-kenyel gurih pedes gitu, nagih deh. Sang abang siap melepas tiap tusuk cilung hanya dengan satu koin lima ratus rupiah. Ngiler ? Segera outlet-outlet cilung terdekat.


Ini sih fotonya saya ambil dari google, ngga punye dokumentasi aslinya sih hehehe


nb : Well, sebenernya sih kalo dari segi kesehatan makanan ini kurang bergizi dan agak kurang sehat. Jadi makannya jangan keseringan ya.

Jumat, 31 Agustus 2012

PGA - Journey

sebenernya mau njelasin postingan sebelumnya, 'Pertamina Green Act' hehehe iya iya tau kok itu udah lama banget postingannya. yaa anggaplah ini sebagai post kebangkitan saya dalam ngeblog lagi hehehe
Eniwei, balik ke topik. Jadi ceritanya itu tadi poster buatan saya. Jelek ? emang iya sih, maklum lah. Dan ngga tau kenapa itu lolos sebagai 10 besar lomba poster yang diadain sama salah satu Perusahaan paling ciamik seantero negeri. Sesuai dengan bidang si perusahaan tadi, tema lomba menganut aliran 'Save-The-Earth'. Tema yang cukup sering diangkat jadi bahan lomba seminar dan banyak acara lain. Nah, hal itu juga yang bikin saya sempat 'mikir' ide apa yang seyogyanya cocok buat direalisasikan sebagai poster. Habisnya saya pikir karna terlalu seringnya acara bertema bumi jadi pasti nanti gambarnya beda-beda tipis sama peserta lain. Jadi niatnya mau out-of-the-box gitu deh. Alhasil, jadilah poster saya itu.
Berangkat dari ide save-reduce-reuse-recycle yang sering disebut-sebut itu, tiba-tiba tercetus kata make over dan yang terlintas langsung ke acara-acara teve yang merombak cewek dari before ke after. Setelah nemu ide - ngegambar trus warnain (yang saya akui sangat belepotan) trus minta ttd guru pembimbing dan Pyuh, jadilah secarik kertas dengan warna warni. Singkat cerita saya lolos 10 besar, dan senang bukan main. lalu ikut tahap presentasi poster dan terakhir pengumuman. Awalnya saya pede aja, tapi ternyata ngga menang .__. sedih. Tapi ternyata Allah punya kejutan lain, beberapa bulan kemudian entah kenapa poster saya dibuat artikel mungkin oleh salah satu panitia. Saya pun geer tak terkira. Nah, itu td artikelnya! Pake bahasa Inggris pula. Terima kasih buat yang sudah buat artikel tentang poster saya, saya terharu sekali :')

Jumat, 14 Januari 2011

Pertamina Green Act



Poster above is the artwork of a high school student in Jakarta. His theme is pretty interesting. Although the picture was drew an Earth which was being in the salon, the creator of this poster was a boy! The name is Ade Ramadhani, from SMAN 47 Jakarta. He had unique and great idea. In my opinion, the Earth always be correlated with the mother or female, according to the term 'Ibu Pertiwi' or 'Mother Earth'. The story inside is the Earth was reading a women's magazine with planet Venus on the cover (Venus, Beauty Goddess symbol in Greek mythology). The articlewas told about pollutant and bad effect for skin beauty). I remember the ozone therapy, ozone therapy is commonly therapy for treatment of female beauty. It could also refers to the earth, you know, ozone of Earth is hollow? This artwork was competed in Pertamina Green Act Poster Competition 2010, with the participants came from all high school students in Jakarta. Although not became a champion, however, this beautiful artwork became into the top 10 finalist stage. Congratulations! Keep on practice with great ideas and creations! I'm very proud to have a friend who would invite or inspire others to love the environment.
Photo : Pertamina Green Act Document

Senin, 23 Agustus 2010

After The Funeral (RePost)














Ini gue ambil dari web nya raditya dika, awalnya gue iseng2 baca posting dari dia trus gue baca dan gue agak terenyuh (halaah) sama tulisan yg satu ini. yaa itung2 tausiyah laah haha
enjoy !





Okay. Here goes, gue harus nulis ini:

Temen baik gue meninggal minggu lalu.
Temen gue dari SMA sampe sekarang.
One of the smartest friends I got.

Kabar duka itu menabrak gue tiba-tiba di tengah pagi buta, lewat sebuah SMS. Begitu gue baca SMS yang mengabarkan dia meninggal, di saat itu pula gue diem lama. It made me think. Ketika salah satu dari teman baik lo meninggal, di saat itu juga kita sadar bahwa, we are not invincible. Sebelumnya, gue selalu menganggap kematian sebagai suatu hal yang jauh dari diri gue. Gue selalu berpikir, “Well, men, gue masih 24 tahun, gue gak mungkin kenapa-kenapa! Orang jarang ada meninggal umur 24 tahun. Gue bakal mati karena tua.” Sekarang, kematian temen gue ini seperti semacam wake-up call bagi gue. Bahwa no, you are not invicible. It could be you. Umur gak ada yang tahu.

So, keesokan harinya,
I came to her funeral.

Dan sewaktu gue dateng ke pemakaman dia, ada temen-temen gue juga di sana. Di antara temen-temen gue yang dateng, ada yang enggak terlalu kenal sama dia. Ada yang udah kenal banget. Ada yang dulu temen sekelas. Ada yang emang baru deket setelah lulus. Bermacam-macam temen dateng ke sana, tapi mereka punya satu kesamaan: they wanted to see her for the last time. Mereka sayang sama temen gue itu. Mereka menyayangkan kenapa hidupnya harus selesai secepet itu.

As I sat outside, di kursi yang disediakan untuk pelayat, ada yang bilang, “Sayang banget ya, orangnya baik.” Gue sendiri bilang, “Dia bener-bener salah satu orang yang menginspirasi gue”. I know we shouldn’t talk about the dead pas lagi ngelayat. But I can’t help it. She really inspires me. Tulisan-tulisan dia witty, cerkas. Dia pintar. Gue suka banget ngobrol sama dia. Dia mengenalkan gue pada banyak penulis. And then I saw her di pembaringan, smiling peacefully. Kayak tidur nyenyak. So, this is death, my friend? Is it this peaceful?

And you know what? Duduk di antara pelayat-pelayat itu, I can’t help to wonder: gimana ya pemakaman gue nanti? Yes, kadang gue suka berkhayal, seperti apa pemakaman gue nanti. Apa banyak yang datang? Apa ada yang datang? Apa yang mereka bakal bilang tentang gue? Apa kenangan yang mereka inget tetang gue? Apa ada yang rela nyetir mobil, susah-susah parkir, untuk ngeliat gue untuk terakhir kali ya? Apa iya, ada?

Kadang gue ngerasa, kematian adalah topik yang sensitif untuk kita.
Sesuatu yang “ada” tapi selalu kita deny keberadaannya.
Living is constant denying for death.

Kita hidup di dunia ini seolah-olah kematian tidak exist. Kita makan, kita bercanda, kita karaoke, kita jatuh cinta. We forget about death. We are too busy with our distraction. But it is there. And when it hits, it hits hard. Gue udah kehilangan nenek gue. Itu sekali. Kehilangan tante gue. Itu dua kali. But I never feel this sad kehilangan temen gue yang satu ini. Gak tau kenapa. Mungkin karena gue keilangan nenek gue sewaktu gue masih kecil? Atau mungkin gue gak terlalu deket sama tante gue? Atau mungkin, temen gue ini, yang gue anggep cerdas, pinter, baik, tadinya invincible tapi akhirnya bisa juga dipanggil sama Yang Maha Kuasa? I don’t know.

Pulang dari pemakaman, nyetir mobil sendirian, gue ngerasa kecil. Gue ngerasa gue harus make something out of life. Badan ini dipinjamkan. Setiap tarikan napas, adalah satu tarikan napas lagi mendekati kematian. Kita harus ngebuat lebih banyak karya, lebih banyak menikmati hidup, lebih banyak mengambil kesempatan. Hidup ini cuman sekali. Akan sangat sayang untuk kita buang begitu aja. I have to enjoy life.

And, mungkin gue suatu hari bakalan mati, tapi gue pengen ngebuat sesuatu yang enggak bakal mati. Katanya Chuck Palahniuk, “The goal is not to life forever, but to create something that will.” Hidup terus. Dengan apa pun.

Temen gue itu,
tidak akan pernah gue lupain.

Gue juga gak mau dilupakan.
Gue gak mau hanya menjadi semacam nama yang hilang begitu saja.

Nama yang dipajang di atas semacam nisan, yang mungkin pertama-tama sering dikunjungi,
namun lama-lama semakin jarang. Hingga pada akhirnya hanya menjelang bulan puasa.
Nama di sebuah nisan yang berlumut. Usang. Bau. Ditakuti orang lewat.

Dan sewaktu hidup, gue gak mau jadi semacam jiwa yang memenuhi bumi ini,
menyesaki kota ini,
sama-sama makan, minum, berak, bicara. Untuk apa?

Gue mau jadi spesial.
Or, I wan’t to die special.

Goodbye Cindy,
you are special to me.