Bukan tulisan Saya, ini diambil dari website sebuah majalah kenamaan dikalangan pelajar dan muda-mudi Jakarta&sekitarnya. Artikel tentang yaa.. yang akrab dengan kita. Monggo dibaca..
Bikin film itu susah. No shit. Tapi yang mungkin lo semua gak tau
adalah bahwa bikin film di Indonesia jauh lebih susah dari yang lo
bayangkan. Indonesia bukan Hollywood yang punya banyak duit. Temen gue
pernah bilang ke gue bahwa Indonesia gak bakalan bisa bikin film
kayakTransformers. Gue bilang sama dia, apa aja bisa kalo lo punya 3
triliun.
Film kita gak ada yang bujetnya sampe 3 triliun. Paling banter kalo
dikurs-in ke dollar cuman 4 jutaan dollar. Makanya, bikin film local
semuanya harus dilakukan dengan penuh cinta. Berlebihan? Dengerin gue
dulu baru lo bakalan ngerti kenapa faktor “cinta” itu penting dalam
pembuatan film di sini.
Stage 1
Syuting film disini gak ada glamor-glamornya. Jangan bayangin kayak
film Hollywood. Lo bisa tidur 8 jam sehari selama produksi aja kayaknya
udah harus sujud syukur. Jangan harapkan ada AC. Para pemain mungkin
bisa kena AC, tapi orang-orang kayak asisten kamera, asisten sutradara
bahkan line producer (komandan perang selama produksi) terpaksa harus
berpanas-panasan selama… yah, selama produksi berjalan.
Di Hollywood mereka punya standar jam kerja. Kayak orang ngantor.
Mereka kerja selama kira-kira 8-10 jam sehari. Lebih dari itu diitung
lembur. Jadi kalo lo liat production days film kayak Pirates of
Caribbean bisa sampe 200 hari itu karena jam kerja mereka emang
terbatas. Di sini kita gak punya kemewahan itu. Jadi, kapankah syuting
berakhir? Well, kadang kala syuting bisa berjalan sampai dengan 24 jam
sehari. Dan ketika lo udah happy syuting mau kelar, lo harus inget bahwa
dalam beberapa jam lagi lo harus udah bangun dan syuting lagi. Makanya
faktor “cinta” penting banget disini. Kalo lo gak secinta itu bikin film
Indonesia, mending jadi dokter gigi aja. Gak bakalan semrawut itu idup
lo.
Stage 2
Setelah masa produksi berakhir barulah kita masuk ke post-production.
Ini adalah masa dimana film diutak-atik jadi bagus. Di Hollywood mereka
punya satu tempat, Indonesia nggak. Kalo lo mau film lo jadinya bagus
(dan lo punya kelebihan uang), lo harus ke Thailand untuk mixing sound.
Atau ke Australia untuk grading warna. Semua ini membutuhkan uang yang
gak dikit.
Mereka ngutak ngatik filmnya sampe yang bikin puas (dan ehm, kadang
tergantung faktor duitnya masih ada apa nggak juga sih). Sampe akhirnya
produser dan sutradara bilang bahwa filmnya siap edar. Berjalanlah
mereka ke sebuah tempat bernama Lembaga Sensor Film (LSF) dan berharap
bahwa film mereka gak diperkosa sama LSF.
Mini Boss
Indonesia gak kayak Amerika yang punya Motion Pictures Association of
America (MPAA) yang tugasnya adalah mengklasifikasi jenis film.
Merekalah yang menentukan apakah Monster University cocok untuk ditonton
anak-anak atau khusus dewasa. Sistem ini menjamin film lo gak bakal
disunat, tapi bakalan disesuain jenis penontonnya sesuai materi film.
Disini, sebagai produser film, lo harus banyak berdoa. Kadang, para
penyensor film tidak memiliki cara kerja otak yang logis sama kayak
kita. Kadang, mereka bisa terganggu oleh hal-hal yang sebenernya gak ada
jorok-joroknya sama sekali. Dan ketika lo mau protes, mereka akan
ngasih alasan-alasan kocak kayak “film lo kurang mencerminkan budaya
Indonesia” atau semacamnya. Dan karena emang hanya mereka yang
menentukan ini semua, lo gak ada pilihan lain kecuali nurut. Atau
mungkin ngambek dan pindah ke negara.
Final Boss
Abis lo dapet keterangan lulus sensor, yang bikin film masih belum bisa
nafas lega dulu. Mereka harus menunggu waktu lagi agar filmnya tayang
di bioskop. Indonesia gak punya sistem distributor yang ngatur jalannya
traffic film di bioskop. Disini lo cuman tinggal ke bioskopnya (dalam
kasus ini adalah Cineplex 21 dan Blitzmegaplex) dan minta jadwal
tayang.
Beberapa produser yang handal, bisa dengan mudah minta jadwal tayang
yang menguntungkan di minggu-minggu liburan misalnya. Produser yang
kurang handal (atau baru), terpaksa harus gigit jari dengan pemilihan
jadwal tayang mereka kurang begitu menguntungkan. Kadang mereka terpaksa
harus nangis di pojokan begitu tau bahwa film mereka dapat jatah tayang
6-7 bulan kemudian dan harus banget barengan sama film James Bond yang
baru.
Kemudian setelah jadwal tayang sudah fix, barulah mereka mulai berdoa
tiap hari agar film mereka bisa laku. Jeleknya bioskop di Indonesia
(atau minusnya sistem distribusi disini) adalah kenyataan bahwa semua
kerja keras lo selama berbulan-bulan bikin film, akan dinilai dalam 3
hari pertama penayangan. Dalam 3 hari itu Cineplex 21 itu akan menilai
film lo, apakah film lo cukup layak diperpanjang atau nggak. Kalo ya, lo
harus berdoa lagi supaya film lo masih cukup kinclong untuk menarik
perhatian penonton. Kalo nggak, ya lo harus tabah bahwa semua perjuangan
lo cuman kelar sampe situ aja. Itulah kenapa lo sering berada dalam
posisi ngomongin film Indonesia yang baru dan temen lo nyeletuk, “Hah?
Yang mana ya? Kok gue gak tau?” atau “Gak pernah liat gue di bioskop”.
Itu karena emang sistem pemutaran film di negara kita sangatlah kejam.
Ending
Setelah tau ini semua, lo bisa nanya, “Kenapa sih, Can, lo semangat
banget nyeritain ini semua?” Simple aja: Gue pengen lo tau kerja keras
para pembuat film di Indonesia. Karena bikin film Indonesia itu gak
gampang dan kurang dihargai. Dan dengan tulisan ini gue berharap agar lo
selalu nonton film Indonesia di bioskop karena cuman lo-lah
satu-satunya harapan kita di akhir hari. Dan supaya tiap kali ada temen
lo yang mau download film Indonesia (atau nonton di youtube, worse) lo
bisa tabok mereka sampe berdarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar